Hadis Nabi

  • Ulama Pewaris Nabi

    Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda

  • إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

    “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al-Albani)

    Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda

  • إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

    “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Pesan Umar Abdul Aziz

"Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika kau tidak mencintai mereka, janganlah engkau benci mereka." (Umar bin Abdul Aziz)

Biografi Syeikh Muhammad Abduh

17:08


Syekh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.  Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.

Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan.  Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan.  Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865,  saat ia baru berusia 16 tahun.

Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur’an.  Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya.  Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.
Walaupun sudah kawin, ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar.  Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali.  Maka ia lari ke desa Syibral Khit − tempat di mana banyak paman dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal.  Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliah.  Pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh sang paman. Ia berhasil merubah pandangan pemuda ini dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi menggemarinya.
Beliau sempat kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, kemudian menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866.  Di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, di antaranya: Pertama, Syaikh Hasan ath-Thawi yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu; Kedua, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.

Ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, tahun 1871,  kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri  pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan olehnya.  Hubungan ini mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit, sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir, kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat, membimbing mereka untuk maju, dan membela ajaran-ajaran Islam.

Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada kepribadian Abduh dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-’Aridat (1837), disusul kemudian dengan Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875).  Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Di samping itu, Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram, Kairo.  Melalui media ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan “Syaikh al-Azhar”, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M).

Setelah lulus dari tingkat Alamiyah (sekarang Lc.), ia mengabdikan diri pada al-Azhar dengan mengajar Manthiq (Logika) dan Ilmu Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya ia mengajar pula kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan Eropa.
Pada tahun 1878, ia diangkat sebagai Pengajar Sejarah pada sekolah Dar al-’Ulum (yang kemudian menjadi fakultas) dan ilmu-ilmu bahasa Arab pada Madrasah Al-Idarah Wal Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-bahasa).
Pada tahun 1879, Muhammad Abduh diberhentikan dari dua sekolah yang disebut terakhir dan diasingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir), berbarengan dengan terjadinya pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir.  Akan tetapi, dengan terjadinya perubahan Kabinet pada 1880, beliau dibebaskan kembali dan diserahi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah, Al-Waqa’i al-Mishriyah. Surat kabar ini, oleh Muhammad Abduh dan kawan-kawan bekas murid Al-Afghani, dijadikan media untuk mengkritik pemerintah dan aparat-aparatnya yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang.

Setelah Revolusi Urabi tahun 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh yang ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi tersebut, sehingga  pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya memilih tempat pengasingan, dan ia memilih Suriah.
Di Negara ini Muhammad Abduh menetap selama setahun.  Kemudian ia menyusul gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, yang ketika itu berada di Paris.  Di sana mereka berdua menerbitkan surat kabar Al-’Urwah al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam dan menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.

Tahun 1884 Muhammad Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1885 Muhammad Abduh meninggalkan Paris menuju ke Beirut (Libanon) dan mengajar di sana sambil mengarang beberapa kitab, antara lain:
1.   Risalah at-Tauhid (dalam bidang teologi);
2.   Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib);
3.   Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu ‘Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan); dan
4.   Syarah Maqamat Badi’ az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut bahasa dan sastra Arab).

Di Beirut, aktivitas Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang dan mengajar saja, tetapi bersama beberapa tokoh agama lain mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan menggalang kerukunan antar umat beragama.  Organisasi ini telah membuahkan hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel yang mengangkat ajaran Islam secara objektif pada media massa di Inggris, padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat.  Namun, organisasi ini dan aktivitas anggota-anggotanya dinilai oleh penguasa Turki di Beirut mempunyai tujuan-tujuan politik, sehingga penguasa tersebut mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad Abduh dan diminta segera kembali ke Mesir.

Pada 1888, Muhammad Abduh kembali ke tanah airnya dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha.  Walaupun ketika itu Muhammad Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun pemerintah Mesir agaknya sengaja merintangi, agar pikiran-pikirannya yang mungkin bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah ketika itu tidak dapat diteruskan kepada putera-puteri Mesir.
Terakhir, ia ditugaskan di Pengadilan Abidin, Kairo. Kemudian, pada 1899 ia diangkat menjadi Mufti Kerajaan Mesir dan pada tahun yang sama Muhammad Abduh juga menjabat sebagai anggota Majelis Syura Kerajaan Mesir, seksi perundang-undangan.

Pada tahun 1905, Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Ide ini mendapat respon yang begitu antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut.  Namun sayang, universitas yang dicita-citakan ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi “Universitas Kairo”.

Pada  tanggal 11 Juli 1905, saat masa puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka di antaranya sekian banyak tokoh non-Muslim.
Selain yang telah disebutkan di atas, selama hidupnya beliau juga melahirkan beberapa karya lain,  yaitu:
1.   Tafsir al-Qur’an al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan oleh Rasyid Ridha);
2.  Khasyiah ‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid adh-‘Adhudhiyat;
3.   Al-Islam wa an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyat.
Syekh Muhammad Abduh menggerakkan dan mempelopori kebangkitan intelektual pada paruh kedua abad ke–9. Kebangkitan dan reformasi dipusatkan pada gerakan kebangkitan, kesadaran, dan pemahaman Islam secara komprehensif, serta penyembuhan agama dari berbagai problem yang muncul di tengah-tengah masyarakat modern.

Ada dua fokus utama pemikiran tokoh pembaharu Mesir ini; Pertama, membebaskan umat dari taqlid dengan berupaya memahami agama langsung dari sumbernya – al-Qur’an dan Sunnah – sebagaimana dipahami oleh ulama salaf sebelum berselisih (generasi Sahabat dan Tabi’in). Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat bertele-tele, yang dipenuhi oleh kaidah-kaidah kebahasaan yang sulit  dimengerti. Kedua fokus tersebut ditemukan dengan sangat jelas dalam karya-karya Abduh di bidang tafsir.
(Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi;  kitab Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha; kitab ‘Ulum al-Qur’an karya Ahmad Von Denffer; tulisan Syekh Muhammad Abduh & Karya Tafsirnya (Pengantar “Tafsir Juz ‘Amma Muhamad ‘Abduh”) karya M. Quraish Shihab, terj. Muhammad Bagir).

You Might Also Like

0 comments

Kalam Murabbi

Ilmu, kemahiran dan segala pemberian yang datang dari ALLAH tidak hadir secara percuma, Ia datang dengan tanggungjawab. Ilmu yang diberikan oleh ALLAH itu menuntut kepada kita untuk diamalkan.

Almarhum Tuan Guru Dato` Bentara Setia Haji Nik Abdul Aziz b Haji Nik Mat

Archives

Ulama Pewaris Nabi

Ulama Pewaris Nabi

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe